Menjadi pasangan pengantin baru
merupakan kebahagian tersendiri bagi
kedua mempelai. Rasa bahagia itu begitu
menyentuh qalbu yang paling dalam, hati
seakan tak mampu menampung rasa
bahagia yang telah meluap memenuhi
relung hati. Namun begitu, kebahagian
menjadi pengantin baru akan terasa lebih
sempurna tatkala telah melewati
kebersamaan dimalam pertama dengan
penuh cinta. Malam dimana seseorang bisa
menyalurkan hasratnya melalui jalan yang
diridhai Allah. Sehingga, dengannya tak
sekedar kenikmatan yang diperoleh tapi
juga pahala dapat diraih. Nilai pahala akan
lebih bertambah seiring bertambahnya rasa
kasih dan sayang antara kedua mempelai
manakala berhias dengan adab-adab saat
menuju peraduan cinta, sebagaimana yang
dituntunkan Nabi shallallahu a’laihi wasallam
sebagai pembawa syariat Islam yang
sempurna.
Diantara adab-adabnya adalah sebagai
berikut :
- Sebelum bermalam pertama, sangat disukai untuk memperindah diri masing-masing dengan berhias, memakai wewangian, serta bersiwak.
- Adapun disunnahkannya bersiwak, karena adab yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau selalu bersiwak setiap setiap hendak masuk rumah sebagaimana disebutkan oleh Aisyah radhiyallaahu ‘anha dalam Shahih Muslim. Selain itu akan sangat baik pula jika disertai dengan mempercantik kamar pengantin sehingga menjadi sempurnalah sebab- sebab yang memunculkan kecintaan dan suasana romantis pada saat itu.
- Hendaknya suami meletakkan tangannya pada ubun-ubun istrinya seraya mendoakan kebaikan dengan doa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan :
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-
Mu dari kebaikannya (istri) dan kebaikan tabiatnya,
dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya
dan kejelekan tabiatnya.”[ HR. Bukhari dari
sahabat Abdullah bin Amr bin Al Ash
radhiyallaahu 'anhu].
- Disunnahkan bagi keduanya untuk melakukan shalat dua rakaat bersama- sama. Syaikh Al Albani dalam Adabuz Zifaf menyebutkan dua atsar yang salah satunya diriwayatkan oleh Abu Bakr Ibnu Abi Syaiban dalam Al-Mushannaf dari sahabat Abu Sa’id, bekat budak sahabat Abu Usaid, beliau mengisahkan bahwa semasa masih menjadi budak ia pernah melangsungkan pernikahan. Ia mengundang beberapa sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, diantaranya Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzarr, dan Hudzaifah. Abu Sa’id mengatakan, “Mereka pun membimbingku, mengatakan, ‘Apabila istrimu masuk menemuimu maka shalatlah dua rakaat. Mintalah perlindungan kepada Allah dan berlindunglah kepada-Nya dari kejelekan istrimu. Setelah itu urusannya terserah engkau dan istrimu. “Dalam riwayat Atsar yang lain Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu mengatakan, perintahkan isrtimu shalat dibelakangmu.”
- Ketika menjumpai istri, hendaknya seorang suami berprilaku santun kepada istrinya semisal dengan memberikan segelas minuman atau yang lainnya sebagimana dalam hadits di atas, bisa juga dengan menyerahkan maharnya. Selain itu hendaknya si suami untuk bertutur kata yang lembut yang menggambarkan kebahagiaannya atas pernikahan ini. Sehingga hilanglah perasaan cemas, takut, atau asing yang menghinggapi hati istrinya. Dengan kelembutan dalam ucapan dan perbuatan akan bersemi keakraban da keharmonisan di antara keduanya.
- Apabila seorang suami ingin menggauli istrinya, janganlah ia terburu-buru sampai keadaan istrinya benar-benar siap, baik secara fisik, maupun secara psikis, yaitu istri sudah sepenuhnya menerima keberadaan suami sebagai bagian dari dirinya, bukan orang lain. Begitu pula ketika suami telah menyelesaikan hajatnya, jangan pula dirinya terburu-buru meninggalkan istrinya sampai terpenuhi hajat istrinya. Artinya, seorang suami harus memperhatikan keadaan, perasaan, dan keinginan istri. Kebahagian yang hendak ia raih, ia upayakan pula bisa dirasakan oleh istrinya.
- Bagi suami yang akan menjima’i istri hanya diperbolehkan ketika istri hanya diperbolehkan ketika istri tidak dalam keadaan haid dan pada tempatnya saja, yaitu kemaluan. Adapun arah dan caranya terserah yang dia sukai. Allah berfirman yang artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, “Haid itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhi (tidak menjima’i) wanita diwaktu haid, dan janganlah kalian mendekati (menjima’i) mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu pada tempat yang diperintahkan Allah kepad kalian (kemaluan saja). Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang mensucikan diri. Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat itu bagaimana saja kalian kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk diri kalian, bertakwalah kepada Allah, ketahuilah bahwa kalian kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman.” [ Q.S. Al Baqarah: 222-223]. Ingat, diharamkan melalui dubur. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Barang siapa yang menggauli istrinya ketika sedang haid atau melalui duburnya, maka ia telah kufur dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad.” [ HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan yang lainnya, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud]. Kata ‘kufur’ dalam hadits ini menunjukkan betapa besarnya dosa orang yang melakukan hal ini. Meskipun, kata para ulama, ‘kufur’ yang dimaksud dalam hadits ini adalah kufur kecil yang belum mengeluarkan pelakunya dari Islam.
- Telah kita ketahui bersama bahwa syaitan selalu menyertai, mengintai untuk berusaha menjerumuskan Bani Adam dalam setiap keadaan. Begitu pula saat jima’, kecuali apabila dia senantiasa berdzikir kepada Allah. Maka hendaknya berdo’a sebelum melakukan jima’ agar hal tersebut menjadi sebab kebaikan dan keberkahan. Do’a yang diajarkan adalah:
“Dengan nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami
dari syaithan dan jauhkanlah syaithan dari apa
yang Engkau karuniakan kepada kami.”[ HR. Al-
Bukhari dan Muslim dari sahabat Abdullah bin
Abbas radhiyallaahu 'anhu].
Dalam hadits tersebut
disebutkan bahwa seandainya Allah
mengkaruniakan anak, maka syaithan tidak akan
bisa memudharati anak tersebut. Al Qadhi
menjelaskan maksudnya adalah syaithan tidak
akan bias mearsukinya. Sebagaimana dinukilkan
dari Al Minhaj.
- Diperbolehkan bagi suami dan istri untuk saling melihat aurat satu sama lain. Diperbolehkan pula mandi bersama. Dari Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah dalam satu bejana dan kami berdua dalam keadaan junub.” [ HR. Al Bukhari dan Muslim.]
- Diwajibkan bagi suami istri yang telah bersenggama untuk mandi apabila hendak shalat. Waktu mandi boleh ketika sebelum tidur atau setelah tidur. Namun apabila dalam mengakhirkan mandi maka disunnahkan terlebih dahulu wudhu sebelum tidur. Berdasarkan hadits Abdullah bin Qais, ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Aisyah, ‘Apa yang dilakukan Nabi ketika junub? Apakah beliau mandi sebelum tidur ataukah tidur sebelum mandi?’ Aisyah menjawab, ‘Semua itu pernah dilakukan Rasulullah. Terkadang beliau mandi dahulu kemudian tidur dan terkadang pula beliau hanya wudhu kemudian tidur.”[ HR. Ahmad dalam Al Musnad]
- Tidak boleh menyebarkan rahasia ranjang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya diantara manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah laki-laki yang mendatangi istrinya dan istrinya memberikan kepuasan kepadanya, kemudian ia menyebarkan rahasianya.” [HR. Muslim dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiyallaahu 'anhu] Dari poin-poin yang telah dijelaskan nampaklah betapa agungnya kesempurnaan syariat Islam dalam mengatur semua sisi kehidupan ini. Sehingga pada setiap gerak hamba ada nilai ibadah yang bisa direngkuh pahalanya. Tidak sekedar aktivitas rutin tanpa faedah, tak semua pemenuhan kebutuhan tanpa hikmah. Oleh sebab itu tak ada yang sia-sia dalam mengikuti aturan Ilahi dan meneladani sunnah Nabi. Semuanya memiliki makna serta mengandung kemaslahatan, karena datangnya dari Allah Dzat Yang Maha Tinggi Ilmu-Nya lagi Maha sempurna Hikmah-Nya. Maka dari itu syariat yang Allah turunkan selaras dengan fitrah hamba-Nya sebagai manusia, sebagimana disyariatkan pernikahan.
Kesempurnaan syariat Islam ini menunjukkan
betapa besarnya perhatian Allah terhadap hamba-
Nya melebihi perhatian hamba terhadap dirinya
sendiri. Oleh karenanya, hendaklah setiap hamba
tetap berada di atas fitrah tersebut di atas agama
allah agar dirinya selalu berada di atas jalan yang
lurus, “(Tetaplah di atas fitrah) yang Allahtelah
menciptakan manusia menurut fitrah itu.” [QS. Ar
Rum: 30]. Allahu a’lam.
PERHATIAN:- Jika anda rasa kandungan ini patut disebarkan ke laman facebook dan twitter anda,sila klik butang kongsi di bawah ini.
Tweet
ShareTweet
TERIMA KASIH KERANA KONGSI KANDUNGAN INI DENGAN RAKAN ANDA..
No comments :
Post a Comment