Kali ini kita akan menyelusuri pula salasilah kehidupan Imam Mazhab yang
ketiga iaitu Imam As-Syafie. Sebagaimana yang sudah kita sedia maklum,
mazhab beliau diterima pakai di negara Malaysia oleh majoriti umat Islam
dan nama beliau bukanlah sesuatu yang asing lagi bagi kita semua.
Sebelum itu, bagi masih belum membaca riwayat hidup dua Imam Mazhab
sebelum as-Syafie, dijemput membacanya, insyaAllah :
Mengenal Imam Abu Hanifah
Mengenal Imam Malik
TERIMA KASIH KERANA KONGSI KANDUNGAN INI DENGAN RAKAN ANDA..
Mengenal Imam Abu Hanifah
Mengenal Imam Malik
Imam As-Syafie
Nama dan Nasab
Beliau bernama Muhammad dengan
kuniyah (gelaran) Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah
Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin
‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin
Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu
Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung
Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau , yaitu
Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal
dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke
Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah
lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah
Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana.
Syafi‘, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan
beliau (Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar
(junior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar
(senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah saw. Dia
termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar.
Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan
masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama
nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari
keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi
kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya
dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat
sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan
bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi
hanya keturunan secara wala’ saja.
Adapun ibu beliau, terdapat
perbezaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan
dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang
lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki
kun-yah (gelaran) Ummu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahawa ibu
Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki
kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan
memiliki kemampuan melakukan istinbath hukum. (mengeluarkan hukum)
Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun
150H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh
al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam
bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya,
banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan
tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota
Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah
Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota
Asqalan sekitar dua farsakh= 11km ). Tempat lain yang disebut-sebut
adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan
bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa
beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan.
Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan
berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu
berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun,
beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia
lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan
ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya
belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk
membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah
melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i
bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya
melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat
Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua
yang dia katakan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil
upah sedikitpun darimu.” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu
mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia
tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah
berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung (selesai)
menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil
Haram untuk menghadiri majeis-majlis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam
kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau
mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang
unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik
ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma
yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat
beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah
menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal
kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau
berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari
ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di
daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan
kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya
dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal
seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu
hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah
berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah
menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua
orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan
al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fqih, maka beliau pun
tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan
pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan
menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid,
Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih
terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-,
Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin
‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih,
hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga
mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi
mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal.
Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya
pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para
syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke
Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya.
Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’.
Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam
Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan
hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani
mulazamah (berguru) kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai
sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga
mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya,
‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far,
Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah,
beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau
mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi,
serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan
–satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah
beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan
dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenangannya itu sampai juga
ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang
kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun
ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama
orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam
Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang
berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap
khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan
orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka
bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang
‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani
Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum
muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia
melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang tegas
dari penguasa. Maka berbeza dengan sikap ahli fqih selainnya, beliau pun
menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa
rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya
merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh
sebagai orang yang bersikap tasyayyu‘ (sikap ahli syiah), padahal
sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah.
Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang
meyakini keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini
keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan
kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh
perintah-perintah yang terdapat dalam Alquran maupun hadits-hadits
shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya
dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan
kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya
ditangkap, lalu dihantar ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan
rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama
orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun
ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan
kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh
pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam
Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan
kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan
-ahli fiqh Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang
ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau
meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan
bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal
di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada
kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab
Ahlu Ra’yu (ahli pemikir/ilmuan). Untuk itu beliau berguru dengan
mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma‘il bin
‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih
ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat
namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia
belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke
Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang
mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama
beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad
bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke
kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam
Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar
yang maqbul (diterima), penjelasan tentang nasikh dan mansukh (ayat yang
membatal/menggantikan hukum terdahulu) dari ayat-ayat Alquran dan
lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun
mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Iraq untuk
kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana.
Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di
sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok
Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka
merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika
beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20
halaqah Ahlu Ra ‘yu (ahli pemikir/ilmuan). Tetapi ketika hari Jumat
tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama
dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana
beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut
ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada
setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi
ke Iraq. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah
terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para
ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu
kalam. Sementara Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu
kalam (ilmu logik berkaitan ketuhanan). Beliau tahu bagaimana
pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh –yang selama ini
dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena
orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam
menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat
padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan.
Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena
itulah beliau menolak madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya.
Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada
para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul
Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa
mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang
masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam
Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian
memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke
sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di
Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah,
menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya
ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti
manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama
masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai
landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari
keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya,
terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah
mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling
mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan
membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar (kata-kata
sahabat) tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat
perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang
yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah,
maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka
ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i
jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan
menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama
sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi
‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan
ahlinya” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci
kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu
kalam.”
Ketidaksukaan beliau sampai pada
tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul
dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring
berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu
adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan
memilih ilmu kalam.
Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah
dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu
mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga
akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah
shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54
tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia
bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada
beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah ?”
Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan
menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus”
Karangan-Karangan dan Karyanya
Sekalipun beliau hanya hidup
selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk
mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak
kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan
menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan
lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang
judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat. Yang
paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri
dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah
direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam
syariat.
PERHATIAN:- Jika anda rasa kandungan ini patut disebarkan ke laman facebook dan twitter anda,sila klik butang kongsi di bawah ini.
Tweet
ShareTweet
TERIMA KASIH KERANA KONGSI KANDUNGAN INI DENGAN RAKAN ANDA..
No comments :
Post a Comment